HUBUNGAN KESESAKAN DAN KEPADATAN

Hubungan antara Kesesakan dan Kepadatan
Kepadatan adalah ukuran jumlah orang perunit area. Dapat diterapkan untuk pengukuran di manapun. Artinya, tidak terikat pada tempat tertentu, seperti perhitungan skala dunia, yaitu 30 per km2. Kepadatan memiliki ciri objektif tetapi tidak lepas dari skala geografis. Kesesakan mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang di sekitarnya. Berbeda dengan kepadatan yang objektif, kesesakan bukan merupakan resio fisik melainkan perasaan subjektif terhadap lingkungan sekitarnya.
Ciri-ciri kesesakan adalah :
  1.  Persepsi terhadap kepadatan, dalam arti jumlah manusia sehingga tidak termasuk di dalamnya kepadatan yang non-mausia.
  2. Persepsi maka sifatnya subjektif, orang yang sudah terbiasa naik bus yang padat penumpangnya, mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (kepadatannya tinggi, tetapi kesesakannya rendah), begitupun sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi bisa merasa sesak dalam bus yang agak kosong (kepadatannya rendah, kesesakannya tinggi).

    Secara teoritis, kesesakan dan kepadatan dibedakan sebagai berikut. Stokols (1972) menyatakan bahwa kepadatan (density) adalah kendala keruangan (spatial constraint).  Sementara itu, kesesakan (crowding) adalah respons subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space).
    Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya presepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak harus ada. Misalnya pada pasar malam atau pertunjukan bioskop. Walaupun kepadatannya tinggi tetapi orang tidak merasakan sesak. Kesesakan baru terjadi bila ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Misalnya jika orang harus berkompetisi mendapat tempat duduk di bus.

    a.    Kepadatan Sosial dan Kepadatan Spasial
    Penelitian-penelitian membuktikan bahwa karena sifatnya yang subjektif, jenis kepadatan atau rasio jumlah per unit area dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu kepadatan sosial dan kepadatan spasial. Loo (1973) dan Saegert (1974) mengemukakan bahwa pada manusia terdapat kepadatan sosial di samping kepadatan ruang/spasial.
    Di sebuah ruangan pertemuan yang padat dengan pengunjung misalnya, kepadatan itu bisa disebabkan oleh persepsi bahwa ruangannya terlalu sempit untuk jumlah undangan (kepadatan ruang), tetapi bisa juga karena persepsi bahwa undangannya terlalu banyak untuk ruangan itu (kepadatan sosial).
    b.    Kepadatan Dalam dan Kepadatan Luar
    Kepadatan dalam bangunan dan kepadatan luar bangunan dapat berbeda secara dramatis. Di kota Hong Kong atau Manhattan, perhitungan kepadatan sebagai jumlah orang perblok akan sangat tinggi. Kepadatan Dalam adalah rasio jumlah individu di dalam bangunan, sedangkan Kepadatan Luar adalah rasio individu dalam ruang di luar bangunan. Holahan mengklasifikasikan kepadatan sebagai berikut
                1.        Kepadatan pedesaan, yaitu kepadatan di dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.
            2.    Kepadatan di pinggiran kota, yaitu kepadatan di dalam ataupun di luar rumah rendah
              3.        Kepadatan permukiman kumuh di kota, yaitu kepadatan di luar dan di dalam rumah tinggi.
               4.        Kepadatan permukiman mewah di kota besar, yaitu kepadatan di dalam rendah, di luar tinggi.
             c.    Kepadatan versus Kedekatan
    Kepadatan dalam dan luar rumah dilihat para ahli sebagai usaha awal untuk pengukuran faktor lain, yaitu berapa banyak orang yang ada dan seberapa dekat keberandaan mereka. Semua perhitungan kepadatan mengasumsikan bahwa jarak antara satu individu dan individu lainnya sama. Padahal, tentu saja tidak. Knowles (1979) berpendapat bahwa perhitungan kepadatan lebih baik diartikan sebagai jumlah dan kedekatan seseorang dalam suatu kumpulan daripada sekedar perhitungan jumlah per unit area.
       e.    Dampak Kepadatan pada Manusia
    Seperti uraian di atas, pengaruh personal, sosial dan fisik dapat menyebabkan seseorang merasa sesak. Kepadatan tinggi tidak hanya menyebabkan seseorang merasa sesak, tetapi juga menyebabkan dampak sebagai berikut:
                ·         Dampak penyakit dan patologi sosial atau penyakit kejiwaan.
                ·         Dampak pada tingkah laku sosial, yaitu agresi,menarik diri dari lingkungan sosial.
                ·         Dampak pada hasil usaha dan suasana hati.
    Konsekuensi lain dari kepadatan tinggi adalah persepsi bahwa kontrol seseorang menjadi rendah karena kita harus berbagi sumber dan mengambil keputusan bersama dengan lebih banyak orang jika kepadatan meningkat.
    Masyarakat dengan kepadatan tinggi telah mengembangkan preferensi perilaku dan pengembangan rancangan arsitektural yang cocok dengan kepadatan tinggi. Dalam rumah-rumah di Jepang, ruangan yang sama bisa digunakan untuk beberapa kegunaan, mengembangkan aturan mengenai penggunaan dan transformasi ruang daru satu fungsi lainnya.
                Di Belanda, seperti halnya di Jepang, masyarakat menciptakan komunitas kecil dalam area-area kepadatan tinggi (Canter, 1971; Rapoport,1977). Di Tokyo, banyak distrik yang menyediakan tempat berbagi individu untuk bertemu dan berinteraksi sehingga dapat mengatasi masalah dalam rumah mereka yang kecil. Kota-kota di Belanda cenderung kompak dan terpisah dengan taman-taman terbuka diantaranya yang memungkinkan adanya perasaan tidak sesak dalam area yang padat.

Ditulis Oleh : ANDITRIPLEA

SOBAT, ANDITRIPLEA MENGUCAPKAN TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG DI BLOG INI;

0 komentar:

Posting Komentar

;

TEMAN-TEMAN PENGUNJUNG BLOG INI, DI "LIKE" YA..

Artikel Terbaru Via Email
Dapatkan kiriman artikel terbaru dari blog ini langsung ke email Anda.!!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes